Aqidah
November 22, 2019
MODEL PENELITIAN TAFSIR, HADIS DAN FILSAFAT ISLAM
MODEL PENELITIAN TAFSIR, HADIS DAN FILSAFAT ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam
Interdislipiner
Dosen Pengampu : Damiri, S. Th. I, M. Ag.
Disusun
Oleh :
Nama :
|
Tuhu Sriastuti
|
NIM :
|
1700331012
|
PROGRAM PENDIDIKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama universal yang
dapat di lihat dari berbagai sudut pandang. Al- Qur’an yang merupakan sumber
ajaran Islam mempunyai lebih dari satu dimensi. Hubungan manusia tidak hanya
kepada Tuhannya melainkan kepada sesama manusia, lingkungan, dan makhluk hidup
lainnya. Mengenai Islam sudah seharusnya tidak hanya pada satu pendekatan ,maka
perlu di lakukan pendekatan-pendekatan yang lain. Setelah mengetahui bahwa
Islam dapat di lihat dari berbagai sudut pandang maka perlu adanya beberapa
model penelitian. Banyak model-model penelitian yang dilakukan tetapi pemakalah
hanya memaparkan model penelitian Tafsir, Hadis, dan Filsafat.[1]
Kata “model” berarti contoh, pola acuan ragam, macam dan sebagainya.[2] Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan yang teliti,
penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan
pokok mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data
yang terkumpul secara autentik. Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh
tersebut kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk memperbarui,
mengembangkan, dan memperbaiki masalah-masalah yang bersifat teoritis dan praktis dalam
bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.[3]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Model Penelitian Tafsir ?
2.
Mengapa
di Lakukan Penelitian Tafsir ?
3.
Bagaimana
Model Penelitian Hadis ?
4.
Mengapa
di Lakukan Penelitian Hadis?
5.
Bagaimana
Model Penelitian Filsafat ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Model Penelitian Tafsir.
2.
Mengetahui
Sebab di Lakukan Penelitian Tafsir.
3.
Mengetahui
Model Penelitian Hadis.
4.
Mengetahui
Sebab di Lakukan Penelitian Hadis.
5.
Mengetahui
Model Penelitian Filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Model
Penelitian Tafsir
1.
Pengertian
Tafsir
Tafsir diambil dari kata al-fasr yang bermakna menjelaskan dan
membuka.[4]
Seperti dalam firman Allah SWT:
“ Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan
penjelasan yang paling baik”. (QS. Al-Furqan: 33)[5]
Sedangkan secara istilah, seperti
yang dikutip oleh oleh as-Suyuthi dari az-Zarkasyi, “ia adalah ‘ilmu’ untuk
memahami kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. dan merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan hikmah dan
hukum-hukum yang terkandung didalamnya”.[6]
Menurut Abuddin Nata ada tiga ciri utama tafsir yaitu: pertama, objek
pembahasannya adalah kitabullah (Al-Qur’an). Kedua, tujuannya
untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Al-Qur’an sehingga dapat
dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga,
sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir
yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu
saat dapat ditinjau lagi.[7]
Penelitian tafsir berarti
penyelidikan secara seksama terhadap ilmu memahami Al-Qur’an yang pernah
dilakukan umat terdahulu untuk mengetahui secara pasti tentang berbagai hal
yang terkait dengannya.[8]
2.
Latar
Belakang Penelitian Tafsir
Dalam Islam penafsiran Al-Qur’an dilihat
dari segi usianya, termasuk paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah
lainnya. Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan
ini sejak Al-Qur’an diturunkan sampai wafatnya Rasulullah. Ketika Rasulullah
masih hidup para sahabat menanyakan masalah-masalah yang tidak jelas kepada
beliau, namun setelah wafat para sahabat
terpaksa melakukan ijtihad, semacam Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay bin
Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Para tokoh tafsir tersebut mempunyai
murid-murid dari para tabi’in di kota-kota tempat mereka tinggal,
seperti:
a.
Di
Makkah ada Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr yang ketika itu berguru kepada
Ibn ‘Abbas.
b.
Di
Madinah ada Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam yang ketika itu berguru kepada
Ubay bin Ka’ab.
c.
Di
Irak ada Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[9]
Dari penafsiran Rasulullah,
penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan
menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan periode pertama dalam perkembangan tafsir. Periode pertama
tersebut berlaku sampai berakhir masa tabi’in.
Pada periode kedua hadis-hadis beredar dengan pesatnya dan bermunculanlah
hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Timbulnya beberapa
persoalan, perubahan-perubahan sosial yang belum pernah terjadi atau
dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW., para sahabat dan tabi’in.
Sejak zaman Rasulullah SAW. hingga
sekarang sudah ada penafsiran Al-Qur’an, kandungan Al-Qur’an yang semakin
membuktikan kebenarannya itulah yang
mendorong sebuah penelitian.
3.
Metodologi
Tafsir Al-Qur’an
Secara umum metodologi tafsir
Al-Qur’an terbagi menjadi dua macam, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir
bi al-Ra’yi.
a.
Tafsir
bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah
tafsir yang didasarkan pada periwayatan. Tafsir ini merujuk pada penafsiran
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau penafsiran Al-Qur’an dengan al-Hadits, dan
penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat.[10]
1)
Tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Sebagai contoh
firman Allah dalam QS. Al-Maa’idah : 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Penjelasan untuk pengecualian makanan yang diharamkan disebutkan
pada ayat lain, yang dijelaskan pada QS. Al-Maa’idah ayat 3
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang
kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.[11]
2)
Tafsir
Al-Qur’an dengan Sunnah
Sebagai contoh firman Allah dalam QS. Al-Baqarah(2) :43
صَÙ„ُّوا ÙƒَÙ…َا
رَØ£َÙŠْتُÙ…ُونِÙŠ Ø£ُصَÙ„ِّÙŠ
“Shalatlah sebagaimana engakau melihat aku
shalat”. (HR. Bukhari).
3)
Tafsir
Al-Qur’an dengan perkataan sahabat
Sebagai contoh firman Allah dalam
QS. Al-Baqarah ayat 158
.
”Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah.
Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak
ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.[13]
Mengenai ayat diatas seorang
kemenakan Aisyah menanyakan kepadanya, maka ‘Aisyah ra. Menjelaskan bahwa
“peniadaan dosa” di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum
muslimin bahwa sa’i di antara Safa dan Marwa adalah termasuk perbuatan
jahiliyah?. Dijawab dengan hadis yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya:
Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Safa (H.R. Muslim)
b.
Tafsir
bi al-Ra’yi
Para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi
adalah menyingkap isi kandungan Al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh
akal. Atau tafsir bi al-ra’yi adalah
penafsiran yang dilakukan berdasarkan akal pikiran. Karena penafsiran ini
berdasarkan akal pikiran, maka dalam tafsir bi al-ra’yi ini lebih
mungkin terjadi perbedaan-perbedaan pemikiran antara mufassir satu dengan
lainnya. karena didasarkan atas hasil pemikiran mufasir. Para ulama berbeda
pendapat mengenai tafsir bi al-ra’yi ini ada yang menerima dan ada yang
tidak.[14]
Ayat yang mendukung kebolehan tafsir ini, firman Allah QS. Muhammad: 24
c.
Macam-macam
Tafsir bi al-Ra’yi
1)
Tafsir yang terpuji
Adalah tafsir Al-Qur’an yang berdasarkan dari ijtihad yang
jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini memenuhi syarat
,peraturan dan bersandarkan kepada makna-makna Al-Qur’an.
2)
Tafsir yang tercela
Adalah tafsir Al-Qur’an tanpa pengetahuan yang benar, yaitu
berdasarkan hawa nafsu yang mengabaikan syarat dan peraturan tata bahasa serta
kaidah-kaidah hukum Islam.[16]
B.
Model
Penelitian Hadis
Hadis sebagai sumber ajaran Islam
setelah Al-Qur’an, keberadaannya disamping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupannya, juga menarik sebagai bahasan kajian. Para ahli
telah melakukan penelitian terhadap hadis baik dari segi keontetikannya,
kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatan
maupun fungsinya. Dikalangan akademis, di perguruan-perguruan tinggi, bahkan
madrasah maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya, hasil-hasil penelitian
dan kajian para ahli tersebut telah di dokumentasikan dan di publikasikan. Bagi
kalangan akademis, adanya berbagai hasil penlitian hadis tersebut telah membuka
peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi
hadis.
1.
Pengertian
Hadis
Hadis menurut
bahasa, berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-hadits,
al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki
banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim
(yang lama).[17]
Kata al-hadis dapat pula
berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu
sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberikan, dan dialihkan dari
seseorang kepada orang lain.[18]
Didalam Alquran banyak dijumpai pemakaian al-khabar ini sebagai
pengertian hadis.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa
dengan Al Quran itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”.
(QS Al-Thur, 52: 34)
Hadis apabila dilihat
dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih. Menurut ulama
ahli hadis, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik
perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk
akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi Rasul. Menurut ulama ushul fiqih, sunah adalah setiap
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW., yang berkaitan dengan hukum
dinamakan hadis. Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadis dengan sunnah, yaitu
sebagai salah satu hukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.[19]
2. Latar
Belakang Penelitian Hadis
Hadis telah banyak diteliti oleh
para ahli, sebagaimana halnya Alquran. Alquran turun (nuzul) secara mutawatir
berasal dari Allah SWT. Tidak adanya keraguan dalam ayat Alquran , maka
penelitian terhadap Alquran lebih sedikit daripada penelitian hadis. Hadis
datang (wurud) tidak seluruhnya datang dari nabi, melainkan ada
yang datang dari selain Nabi,
lafal-lafal hadis yang tidak bersifat mukjizat, perhataian penulisan hadis pada
zaman Rasulullah agak kurang bahkan pernah melarangnya, karena sebab-sebab yang
bersifat politis dan lainnya. Hal tersebutlah yang melatar beakangi para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim meneliti
hadis dan hasil penelitiannya itu dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari
(810-870) dan Sahih Muslim (820-875).
Untuk penjelasan mengenai peneliti
hadis berikutnya pemakalah menguraikan dua ulama sebagai berikut:
a.
Model
Muhammad Al-Ghazali
Adalah salah seorang ulama lulusan
Universitas Al-Azhar Mesir, dan salah seorang penulis Arab yang sangat
produktif.Dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa
Ahl al-Hadits Muhammah Al-Ghazali menyajikan hasil penelitiannya tentang
hadis. Dalam penelitiannya Muhammad Al-Ghazali cenderung menekuni masalah
fiqih, yaitu: menjelaskan tentang kesahihan hadis dan persyaratannya, hukum qishash,
tentang salat, etika makan dan minum, etika berpakaian, masalah fiqih wanita
dan sebagainya.
b.
Model
Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Husein Al-Iraqiy
Beliau
hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan
penelitian hadis. Karyanya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syard Muqaddiman
Ibn al-Shalah yang termasuk kitab ilmu hadis tertua. Para peneliti dan
penulis hadis generasi berikutnya banyak menjadiannya sebagai rujukan. Ia
belajar di Mesir dan mendalami fiqih. Salah seorang gurunya adalah Al-Asnawiy
dan Ibn ‘Udlan yang keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi’i. Dikenal juga
menguasai ilmu nahwu (gramatika), ilmu qira’at dan hadis.
Penelitiannya
bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan yang digunakan untuk membangun suatu ilmu. Karena
pada zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadis. Bahan-bahan itu
adalah hadis Nabi serta berbagai pendapat para ulama. Buku karya Zain Al-Din
‘Abd Al-Rahim bin Al-Husein Al-Iraqiy ini adalah buku pertama yang mengemukakan
macam-macam hadis yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif. Dilihat
pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadis musnad,muttasil, marfu’,
al-munqatil. Dilihat pula dari keadaan matannya yang dibagi menjadi hadis
yang syadz dan munkar.
Dibuku
tersebut dikemukakan tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat diterima
riwayatnya, cara menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tata krama
kesopanan para ahli hadis, dan lainnya yang berkaitan dengan adanya hadis-hadis
yang secara lahiriah bertentangan dan cara mengkompromikannya.[20]
Model
Penelitian Filsafat Islam
1. Pengertian
Filsafat Islam
Filsafat Islam terdiri dari
gabungan kata filsafat dan Islam. Asal kata filsafat diambil dari kata Philo
yang berarti cinta dan Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Jadi,
secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.[21]
Pendapat Al-Syaibani bahwa hikmah dalam filsafat bukanlah hikmah itu sendiri,
tetapi cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan, memusatkan perhatian
padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Dengan demikian ia
mengatakan bahwa filsafat berarti berusaha menautkan sebab dan akibat, mencari
hakikat sesuatu, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[22]
Sedangkan kata Islam berasal dari
kata salam yang berarti “pasrah”, “damai”, “selamat”. Ajaran agama Islam
diwahyukan kepada Nabi Muhammaad antara tahun 610 sampai dengan 632 M. Islam merupakan wahyu yang terakhir.[23]
Islam adalah agama yang sempurna dan di ridhai Allah Swt. Firman Allah QS.
Al-Ma’idah ayat 3
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[24]
Musa Asy’ari berpendapat bahwa filsafat Islam dapatlah diartikan
sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami. Islam disini menjadi jiwa yang
mewarnai suatu pemikiran.[25]Ahmad Fuad Al-Ahwani mengatakan bahwa filsafat Islam ialah
pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam-macam masalah
manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama
Islam.[26]
Filsafat Islam mempunyai ciri sebagai berikut :
a.
Filsafat Islam berdasarkan ajaran Islam yang menjadikan Al-Qur’an
dan Hadis sebagai sumbernya.
b.
Ruang lingkup pembahasannya mencakup bidang fisika atau alam raya,
masalah kehidupan di dunia dan akhirat, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
sebagainya.
c.
Kedudukan filsafat Islam sama kedudukannya dengan studi fiqih, ilmu
kalam, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.
d.
Orang-orang yang melakukan pemikiran adalah orang Islam seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan lainnya.[27]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemakalah mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penelitian
tafsir berarti penyelidikan secara seksama terhadap ilmu memahami Al-Qur’an
yang pernah dilakukan umat terdahulu untuk mengetahui secara pasti tentang
berbagai hal yang terkait dengannya.
2.
Latar
belakang penelitian tafsir adalah karena
penafsiran Al-Qur’an sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. dan ajaran Al-Qur’an
yang dapat dibuktikan kebenarannya sampai sekarang.
3.
Penelitian
hadis berarti menyelidiki secara seksama terhadap hadis baik dari segi
keontetikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya,
macam-macam tingkatan maupun fungsinya
4.
Latar
belakang penelitian hadis adalah karena hadis datang (wurud) tidak
seluruhnya dari nabi, melainkan ada yang
datang dari selain Nabi, lafal-lafal hadis yang tidak bersifat mukjizat.
5.
Filsafat Islam adalah pemikiran yang bercorak Islami dan menjadikan Al-Qur’an dan Hadis
sebagai sumbernya. Ruang lingkup pembahasannya mencakup bidang fisika atau alam
raya, masalah kehidupan di dunia dan akhirat, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata. Abuddin. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2016) . cet. 22. hlm. 206-207.
Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Semarang: Widya
Karya, 2011). cet. 9. hlm. 324.
Arifin. H.M. Kapita Selekta Pendidikan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 2003). cet. 1. hlm. 100.
Al-Qur’an dan Terjemahan, Kementerian Agama RI. 2012.
Qardhawi. Yusuf. Berinteraksi
dengan Al-Qur’an. (Jakarta: Gema
Insani Press. 1999). cet. 1. hlm. 283.
http://www.alquran-digital.com,diakses
tanggal 3/12/2018. 21.06.
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta:
Penerbit Riora Cipta. 2000). cet. 1. hlm.15.
Suhartini. Andewi Ushul Fiqi., (Jakarta:
direktorat. 2012). cet. 2. hlm.90.
Arifin. Muzayyin. Filsafat
Pendidikan Islam. ( Jakarta: Bumi Aksara, 1994). cet. 4. hlm.3.
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani. Falsafat Pendidikan Islam
(terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). cet. 1. hlm.
25.
Glasse. Cyril Ensiklopedi Islam (Ringkas). (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996).
cet. 1. hlm.172.
Asy’ari. Musa Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologi dalam
Irma Fatimah (Ed.). Filsafat Islam. (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. 1992).
cet. 1. hlm. 15.
Fuad Al-Ahwani. Ahmad Filsafat Islam. (terj.). (Jakarta: pustaka
Firdaus. 1985). cet. 1. hlm. 5.
[1]Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) , cet. 22, hlm.
206-207.
[2]
Suharso, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2011), cet. 9, hlm. 324.
[3]
H.M. Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet. 1, hlm.
100.
[4]
Yusuf Qardhawi,
Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet.
1, hlm. 282.
[5]
Al-Qur’an dan
Terjemahan, Kementerian Agama RI, 2012.
[6]
Yusuf Qardhawi,
Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet.
1, hlm. 283.
[7]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) , cet. 22, hlm. 210.
[9]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) , cet. 22, hlm. 212.
[10]
Thameem Ushama,
Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), cet.
1.
[16]
Thameem Ushama,
Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), cet.
1, hlm.15.
[18]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2016) , cet. 22, hlm.234.
[19]
Andewi
Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: direktorat, 2012), cet. 2, hlm.90.
[21]
Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. 4,
hlm.3.
[22]Omar Mohammad
al-Toumy al-Syaibani, Falsafat Pendidikan Islam (terj.) Hasan Langgulung
dari judul asli Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), cet. 1, hlm. 25.
[23]Cyril Glasse,Ensiklopedi
Islam (Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 1,
hlm.172.
[25] Musa Asy’ari, Filsafat
Islam Suatu Tinjauan Ontologi dalam Irma Fatimah (Ed.), Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), cet. 1, hlm. 15.
[26]
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (terj.), (Jakarta: pustaka Firdaus,
1985), cet. 1, hlm. 5.
[27]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2016) , cet. 22, hlm. 257.